POV ZAIN
“kakak,
Bunda dan Ayah kakak manggil..” seru Doni, Adik sepupuku tepat dari depan pintu kamar. Aku hanya
mengangguk mengiyakan seruannya.
Aku
yakin Mira yang saat ini tengah di hadapanku tak mendengar seruan Doni barusan.
Dari jalan kompleks selebar 5 meter yang memisahkan rumahku dan rumahnya saat
ini, ku lihat Mira sepertinya tengah membayangkan sesuatu. Dia memang ada di
depanku, tapi tidak dengan pikirannya.
Memecah
kesunyian diantara kami, aku berinisiatif menananyakan langsung apa yang sedang
ia pikirkan.
Kulihat
ia gelagapan dan malah menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
“Ooh eehm..”
“Itu berarti dia enggan menjawab kan?” Tanyaku lebih pada diri sendiri..
“ya
udah deh, gak perlu dijawab, nanti malam datang ya ke rumah kakak, Bunda
ngadain syukuran..” tawarku mencoba untuk terlihat tidak gugup sedikitpun.
“kakak
masuk dulu ya..” pamitku padanya
Segera
aku beranjak dari jendela kamarku. Sebenarnya aku ingin mengobrol banyak hal
padanya. Salah satunya, tentang mengapa Ia memilih Aussie sebagai Negara tujuan
kuliahnya. Bukankah kebanyakan gadis gadis muda akan lebih memilih London, USA
atau yang lainya karena terlihat lebih menarik dan Favorit?. Tapi kuurungkan
niatku itu karena sepertinya Ayah dan Bunda
tengah menungguku saat ini.
Aku
berjalan keluar kamar masih menebak nebak sebenarnya mengapa Ayah dan Bunda
memanggilku. “apa Ayah dan Bunda ingin membicarakan perihal rencana
serius yang kuungkapkan beberapa saat yang lalu ya?” tanyaku dalam hati
Di
anak tangga terakhir aku terpaku melihat pemandangan yang hanya berjarak 3
meter dari tempatku berdiri saat ini. “serius
sekali suasananya..” batinku dalam hati
Di
ruang keluarga itu kulihat Ayah dan Bunda tengah serius bicara kepada dua
orang. tapi pandangan mataku belum begitu jelas menangkap dengan siapa Ayah dan
Bunda berbicara karena banyaknya keluarga dan para keponakanku yang berlalu
lalang tepat di hadapanku yang tentu saja menganggu pandanganku.
“Itu
Oom Erwin dan Tante Ratna kan?”
Tanyaku lebih pada diri sendiri
Dari
gesture tubuh dan perawakan yang berhasil ku tangkap, Aku yakin dan seratus persen yakin bahwa itu
mereka. tiba-tiba bagai adegan slow
motion di film film, ku rasakan keponakan dan keluargaku yang tadinya berlalu
lalang dihadapanku malah menghilang entah kemana, yang ada hanya mataku yang entah
sejak kapan sudah bertatapan langsung
dengan mata Oom Erwin dan Tante Ratna. Dengan lambaian tangan dari Tante Ratna
aku tahu bahwa ia memintaku bergabung
bersama mereka.
Rasanya
jarak 3 meter yang memisahkan kami dari tempatku berdiri saat ini, terasa di
tumbuhi duri duri tajam di sepanjang jalan. Lama sekali untuk sampai disana.
tiba tiba aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat, nafasku terasa berat untuk dihembuskan. Tubuhku sepertinya tengah
berespon terhadap ansietas (baca:
cemas) yang aku rasakan saat ini. Seketika nyaliku ciut dimakan oleh pikiran
yang tiba tiba berkecamuk dalam otakku.
“Pasti mereka tengah membicarakan
perihal rencanaku ‘itu’ kan? atau jangan jangan mereka memanggiku karena ingin
menyampaikan penolakan secara halus padaku?. Apa meraka sekarang menganggapku
pedofil?. Karena telah berniat menikahi putri mereka yang baru satu minggu yang
lalu dinyatakan lulus sekolah menengah atas?. TIDAK Zain!! , memangnya menikahi
gadis yang sudah 18 tahun itu masih saja dianggap pedofil? C’mon Zain, itu sah
sah saja..!!! Mira bukan lagi anak kecil
seperti yang kamu kenal dulu . dia sudah lebih dari pantas untuk menikah..” batinku dalam hati untuk meyakinkan keputusanku.
“Zain
kok diem aja? Salamin dulu dong Tante Ratna dan Oom Erwinnya, dari tadi nyampe
belum sempet nyapa kan” perintah Bunda
membuyarkan segala pikiran absurdku
barusan.
Aku
gelagapan. Ku salami tangan mereka dengan gugup.
Aku
tak bisa menerka-nerka tatapan yang Oom Erwin tujukan kepadaku saat ini.
“iiih,
tangan Zain dingin banget Nis..” seru Tante Ratna.
“biasa,
lagi gugup Na..” ucap Bunda santai
Rasa
gugup yang aku rasakan saat ini membuatku hanya bisa memaksakan seulas senyum
menanggapi olokan Bunda barusan.
“Baiklah,
karena Zainnya uda ada disini, sekarang Oom mau denger dari orangnya langsung..” ucap Oom Erwin
serius dan langsung to the poin
Aku
langsung tahu maksud ‘denger dari orangnya langsung’ itu mengarah pada
pernyataanku beberapa saat yang lalu—yakni keseriusanku melamar Qamira.
Aku
menarik nafas panjang sebelum memulai segala bentuk promosi diriku agar
diterima jadi calon menantu di keluarga mereka.
“ehmmm..
sebelumnya Zain ingin menegaskan bahwa saat ini Zain berbicara sebagai seorang
pria dewasa. Bukan lagi sebagai anak tentangga kemarin sore…” ucapku ingin
menghilangkan image masa kanak
kanakku dulu
Berhenti
sejenak untuk menarik nafas. Aku tahu keempat pasang mata di ruangan ini pasti
tengah menunggu suraku selanjutnya
“aku
serius ingin melamar Qamira Nafisah,
putri Oom dan Tante. Menjadikanku imam untuknya, menjaganya baik lahir maupun
batin..” ucapanku tiba tiba diintrupsi oleh suara yang aku kenali adalah suara Ayah.
“Ayah
tahu Zain, tapi ini bukan semata-mata karena kamu merasa berkewajiban menjaga Qamira
di negara asing itu kan?” tanya Ayah ragu
Aku
menarik nafas sejenak mencerna pertanyaan yang Ayah ajukan. Aku benar benar tak
berpikiran bahwa aku menikahi Qamira hanya untuk sekedar menjaganya. Aku ingin
menjadikannya istriku seutuhnya..
Ku
gelengkan kepala dengan mantap
“tidak
ada hal yang seperti itu Ayah. Zain hanya ingin melengkapi separuh agama Zain
dengan menikahi Qamira. Perlu Ayah, Bunda, Tante dan Oom tahu, Zain sudah
tertarik pada Qamira sedari Zain SMA. Saat ini Zain merasa bahwa ini adalah
moment yang tepat untuk melamar Qamira sekaligus menjaganya kelak di sana..”
Ku
beranikan diri mengangkat kepalaku untuk melihat keadaan sekitar. Kulihat mata
ibu dan Tante Ratna berkaca kaca mendengar lamaranku barusan.
“itu
sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan Oom dan Tante bahwa kamu serius dengan Mira..”
ucap Oom Erwin
“Tak
ada yang meragukan bahwa yang bisa
menjaga seorang wanita baik lahir maupun
batin itu selain suaminya sendiri. Yang sudah pasti muhrim dan halal
untuknya..”
“tapii
keputusan tetap ada di tangan Mira..” ucap Oom Erwin menyadarkanku pada
kenyataan
“Ahh ya!! keputusan ada di tangan Mira”.
Batinku ragu
“bisa
saja Oom menikahkan Mira dengan Kamu tanpa sepengetahuan Mira, Hukumnya tetap
SAH di mata Agama karena Oom adalah Wali kandungnya Mira..”
“tapi
pernikahan tidak bisa dijalankan atas sebuah paksaan..” ucap Oom Erwin lagi
“jadi
tunggulah sampai Oom menyampaikan kabar bahagia ini kepada Mira, kalau Ia
menyetujuinya. Malam ini juga akan ada prosesi lamaran mendadak..” ucap Oom Erwin
mengakhiri
“Malam ini? berbarengan dengan malam
syukuran kepulanganku?” tanyaku
dalam hati. Masih tak percaya.
Selepas
kepergian Oom Erwin dan Tante Ratna. Bunda memelukku erat, Ayah meremas sedikit
bahuku sebagai tanda penguatan atas penantian jawaban lamaran ku nanti malam.
Kemungkinananya masih 50:50. Dan sayangnya mengapa aku tak yakin Mira bakal
menerimaku?
_____
penasaran? Wait Next Chap :*
EmoticonEmoticon