POV QAMIRA
Jarum jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 16.20 Wib. Seusai
mendirikan sholat Ashar, aku masih berguling guling malas di atas ranjang
sampai sayup sayup kudengar bunyi derit pintu dari lantai bawah sebagai
pertanda Mama dan Papa atau salah satunya sudah pulang.
Sesuai tradisi di daerahku, jika ada salah satu kerabat atau
tetangga mengadakan syukuran baik kecil maupun besar, kerabat dan sanak keluarga
yang lain pasti tumpah ruah ke rumah si empunya hajatan untuk sekedar bantu
bantu ataupun meramaikan suasana. Maka tak heran, sejak kabar kepulangan kak
Zain tersebar, Tante Nisa segera mengundang para tetangga dan kerabat dekat
pada acara syukuran kecil kecilannya, persis seperti 2 tahun yang lalu. Dan
disanalah—di rumah tante Nisa, Mama dan Papa selama beberapa jam yang lalu
terdampar dan lupa pulang walaupun hanya untuk sekedar menengok kabar putri
kesayangannya ini.
Secepat kilat aku menuruni tangga. Aku sudah tak sabar untuk
merayu Mama dan Papa agar mau mengizinkanku kuliah ke Aussie karena disana ada
kak Zain yang bakal jagain aku. Kurang apa lagi coba?.. ehmm
Ku langkahkan kaki ke arah Papa dan Mama yang berjaan salaing
beriringan. Dari tempatku berdiri saat ini bisa kulihat tawa sumbringah Papa
dan Mama. Sepertinya acara kumpul kumpul tetangga di rumah tante Nisa bisa
meningkatkan mood Papa dan Mama. Buktinya sekarang, tawa tak pernah lepas
meraka sunggingkan. How perfect this time to talk about it
“Pa, ma..” panggilku pelan
Hanya dengan suara sepelan itu, Papa dan Mama segera menoleh
kearahku
“Mira mau bicara sebentar, bisa kan?” tuntunku ke ruang keluarga
“Ooh kebetulan sayang, Papa dan Mama juga mau bicara sama kamu..”
Kulihat Papa dan Mama mengekor langkahku menuju ruang keluarga..
Kini posisi kami sudah saling berhadapan
“mau bicara tentang apa sayang?” tanya Mama lembut
“Tentang kuliah Mira ma..” jawabku singkat
“Ooh, kebetulan lag nih.. Papa juga mau bahas tentang itu..”
kali ini Papa yang berujar
“Okedeh, sekarang Mira yang mulai duluan ya”
Tanpa menunggu jawaban, aku segera memulai rayuanku..
“Ehmm, pa, Ma uda tahu kan kalo Mira maunya cuma kuliah Di Aussie.
Gak ada di tempat lain. kalo gak, lebih baik Mira gak usah kuliah
sekalian..” ucapku merajuk, walaupun sedikit ragu. Masa’ iya’ aku beneran
gak kuliah..
“Beneran gak mau kuliah?” Tanya Papa, ada nada mengejek di
suaranya
“Iya nggaklah Pa. maksud Mira, Mira Cuma Maunya kuliah di Aussie.
Gak ada tempat lain pokoknya..” jawanku tegas
“Ya udah Papa dan Mama Izinin..” ucap Papa santai yang diikuti
anggukan oleh Mama
“ Serius pa?” tanya ku tak percaya. Masih bingung kenapa
Papa dan Mama tiba tiba ngizinin padahal baru juga dua hari yang lalu nolak
mentah mentah dengan alasan harus ada yang jagain. Ehmm, Belum juga memulai
rayuanku, tapi Papa dan Mama uda ngizinin aja..Horeee!!
“Alhamdulillah” syukurku dalam hati
“ehmmm, tapi dengan satu syarat..” ucap Papa berbinar
“pokoknya, apa aja syaratnya Mira setuju, asal Mira diizinin
kuliah di Aussie..” ucapku mantap, sengaja tak ingin mendengar syarat dari
Papa. Palingan juga syaratnya jaga diri, rajin sholat, harus mandiri, jangan
cengeng dan manja dll lah..
“beneran? Gak mau denger dulu syaratnya apa?” Tawar Mama
Aku hanya mengangguk angguk mantap.
“ARRGGGHH….
Mimpi apa aku semalam, sekarang aku uda dizinin kuliah Di Aussie,
Aussie I’m coming..” teriakku dalam hati.
Kulihat bukan hanya wajahku yang berbinar di ruangan ini, tapi
juga wajah Mama dan Papa yang sepertinya ketularan rona bahagia dari purtinya
ini..
Tapi tiba tiba, suasan menjadi serius kembali saat bunyi deheman
terdengar dari tenggorokan Papa. Biasanya kalau Papa uda begini, ada hal serius
yang ingin dibicarakannya.
“Ehmm, dengarkan baik baik ya Mira, ini Syarat yang Mama dan
Papa minta..” ucap Papa serius
Aku sudah siap mendengar baik baik seluruh wejangan dan nasehat
yang bakal Papa dan Mama lontarkan, “gak apa apa, asal aku diizinin kuliah Di Aussie.”
“Tadi kamu uda langsung setuju aja syaratnya” kali ini Mama yang
berbicara
“kalau syaratnya itu, kamu mesti ada yang jagain di sana, gimana
mir?” tanya Mama, ada nada geli dalam suaranya
“semacam bodyguard gitu..?” tanyaku dalam
hati
Aku masih menerka-nerka arah pembicaraan ini. gak mungkin bodyguard kan
maksudny?..
“maksudnya?” hanya satu kata itu yang akhirnya keluar dari bibirku
Tak sampai beberapa detik berlalu, semua pertanyaan besar dalam
benakku tadi terjawab sudah..
Sebelum menjawab, Kulihat Papa dan Mama saling berpandangan seolah
ingin menyampaikan sesuatu yang sangat amat penting.
“maksudnya kamu dijagain oleh suami kamu. Baru deh Papa dan Mama
tenang disini..” ucap Mama mantap
Tidak ada sama sekali nada bercanda dalam suaranya. Yang ada hanya
keseriusan
Hening…
Aku masih mencerna dalam hati kata kata Mama barusan..
“maksudnya kamu dijagain oleh suami kamu. Baru deh Papa dan Mama
tenang disini..” ulangku dalam pikiran
“suami? itu berarti menikah kan?” teriaku masih
dalam hati
Tersadar dari kenyataan barulah aku bisa berteriak yang sebenarnya
“APA!!!”
“SUAMI?”
“MENIKAH?”
Telak dan tepat sasaran, Papa dan Mama tahu kelemahanku. Dan pasti
mereka mengira bahwa aku akan mengurungkan mimpiku itu..
Kalau itu yang Papa dan Mama Pikirkan, maka mereka salah, Itu
mimpi yang akan selalu aku perjuangkan. Sampai titik darah penghabisan.
Eettdah bahasanya..
“iya sayang..” Mama menanggapinya santai
“Mira Nikah? Mira Cuma mau kuliah. Kok malah disuruh
nikah..” ucapku cepat.
Kulihat Papa dan Mama malah tersenyum melihat
keterkejutanku.
“Kamu pilih kuliah di Aussie, di Indo, atau gak kuliah sekalian
Mira?” Tanya Papa tegas
“Papa kejam” rutukku dalam hati
“Di Aussie lah Pa” refleks aku menjawab
“Itu kan emang uda cita-citanya Mira dari dulu. Tapi ya gak pake
nikah-nikahan segala lah Pa..” sanggahku kemudian
“Kamu itu anak gadis Papa dan Mama satu satunya Mira, gak mungkin
Papa dan Mama ngelepas kamu di Negara asing seorang diri. Kalau kamu menikah
itu berarti sudah ada seorang muhrim yang bisa ngejaga kamu di sana..” ucap
Papa lembut.
“Tunggu.., aku belum meluncurkan rayuanku bukan? Masih ada dewa
penyelamatku—kak Zain”
“Di Aussie kan ada kak Zain Pa, kurang percaya apa lagi coba Papa
dan Mama sama dia. Pasti Kak Zain lebih dari bisa Jagain aku..” ucapku selembut
mungkin. Mencoba menawarkan solusi
“iya sayang, Emang Zain..” jawab Mama tak kalah lembut. Lagi lagi
tedengar nada geli dalam suaranya
“Kenapa ada nada yang aneh ya dari suara Mama?” Tanyaku
dalam hati
“Iya kan ada kak Zain, Ma” jawabku berbinar, sepertinya Papa dan
Mama mulai termakan rayuanku
“Iya, Zain. Calon suami kamu sayang..”
“HAH!!” Teriakku tak percaya
Ada yang lebih Gila lagi dari ini..?
“Maksudnya Kak Zain yang bakal jagain aku di sana? Tapi sebagai
seorang suami gitu?..” ulangku
Kulihat Mama mengangguk
“Lelucon konyol apa lagi ini Ma..” tanyaku setengah tak
percaya
“Ini bukan lelucon sayang, ini kenyataan…” ucap Mama tegas
Kupicingkan kelopak mata, “Papa dan Mama sengaja mengatur
perjodohan ini ya? Cuma biar aku ada yang jagain di sana?” tuduhku cepat.
“Ini bukan perjodohan Mira. Ini lamaran. Zain baru saja melamarmu
sayang..” kali ini Papa yang menjawab
“apa lagi ini? kak Zain melamarku? Jadi ini bukan perjodohan?” tanyaku lebih
pada diriku sendiri
Logikaku tiba tiba berontak. Aku masih punya senjata terakhir
untuk membela diriku tanpa harus meniadakan mimpiku kuliah di Aussie dan tanpa
harus menikah dengan Kak Zain. Yang benar saja MENIKAH?, Aku bahkan masih belum
percaya bahwa dia telah melamarku..
“tapi gak harus dengan nikah juga Pa, Ma..” sanggahku kemudian
“sayang, tak ada tempat teraman seorang wanita selain berada di
sisi suaminya. Kau akan terlindungi baik lahir maupun batin di negeri
asing itu Mira..” ucap Papa tegas
“Kak Zain gak harus jadi suamiku segala Pa, dia bisa menjagaku
sebagai seorang adik dan tetangga dekatnya mungkin?” tanyaku lemah, tak
yakin apa yang baru saja aku katakan.
“iya kamu benar, tapi jika yang menjagamu itu adalah suamimu
sendiri, maka akan lain ceritanya Mira. Dia pasti akan memprioritaskan dirimu
di atas segalanya, dia akan melindungi kamu dengan segenap jiwanya, dia bisa
bertindak tegas kepada kamu, membimbing kamu karena kamu adalah istrinya.
Karena dia berkewajiban penuh atas hal itu..” jelas Papa kepadaku.
Setengah logikaku membenarkan apa yang diucapkan Papa barusan,
bahwa kalau seandainya Kak Zain menjagaku hanya sebagai tetangga disana, tentu
aku tak berkewajiban menuruti perintahnya segala karena notabennya dia bukan
siapa siapaku toh? posisinya juga amat lemah, dia hanya bisa sampai
mengingatkan saja. tak bisa sampai melarang ataupun merasa berkewajiban
melindungi dengan ‘segenap jiwanya’ seperti istilah Papa barusan... pasti ini
yang dimaksud Papa.
“ARRRGGHHH..” aku berteriak dalam hati
“Tuhan, Kenapa mengejar mimpiku ke Aussie, begitu rumitnya..” rutukku
dalam hati
“sayang, Papa dan Mama disini hanya sebagai Pihak yang
menyampaikan Lamaran Zain, Kami sudah mengatakan baik dan buruknya. Tak ada
paksaan sedikitpun kepadamu untuk menerima lamaran ini..” Papa menyimpulkan
“Tapi sekali lagi Papa tegaskan. Kamu tidak akan ke Aussie tanpa
seorang yang memang Papa dan Mama percayakan jiwa dan ragamu padanya..” tutup
Papa tegas.
Selepas kepergian Papa, Mama berpindah posisi menghampiriku. Memelukku
erat seolah dengan pelukan itu sedikit bebanku akan terangkat
“inilah konsekuensi punya anak gadis sayang. Kamu kelak akan
merasakannya. Bagaimana khawatirnya kami, saat akan melepasmu di tempat yang
masih teramat asing dan jauh untuk kami, tolong pahami Papa..” ujar Mama
memberi pengertian
“Dan, pikirkanlah mulai saat ini sayang, kami menunggu keputusanmu
saat acara Syukuran di Rumah Tante Nisa, ba’da Magrib nanti..” ucap Mama
mengakhiri, perlahan ia melepas pelukannya dan berdiri meninggalkanku, seolah
memberikanku ruang untuk mencerna semua ini, untuk membuat keputusan segera.
Kulihat jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 17.25 WIB. itu
berarti tak sampai satu jam lagi adzan magrib akan berkumandang dan itu
pertanda bahwa aku harus segera menentukan keputusanku.
Menerimanya dan meraih mimpiku
Atau
Menolaknya dan melupakan mimpiku untuk selamanya..
“Tuhan, Aku harus memilih yang mana?” Tolong pilihkan untukku yang
terbaik menurutMu..” Pintaku dalam hati
______________________
EmoticonEmoticon