#5 LOVE IN AUSSIE~ menanti sebuah jawaban



POV Zain
aku tak bisa luluhkan hatimu
dan aku tak bisa menyentuh cintamu
seiring jejak kakiku bergetar
aku tlah terpaut oleh cintamu
menelusup hariku dengan harapan
namun kau masih terdiam membisu

sepenuhnya aku ingin memelukmu
mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
setulusnya aku akan terus menunggu
menanti sebuah jawaban tuk memilikimu

            (Padi, menanti sebuah jawaban)

“tapii keputusan tetap ada di tangan Mira..”

Kata kata dari Oom Erwin beberapa saat yang lalu itu, terus berputar ulang di otakku bak kaset kusut yang tak akan bisa berhenti.

Saat ini pasti Oom Erwin dan Tante Ratna telah menyampaikan perihal lamaranku pada Mira, dan itu berarti Mira juga tengah dibuat ‘Galau’ antara mimpinya ke Aussie dan keharusan menikah denganku. Itu sudah seperti ‘satu paket’ restu dari orang tua mira jika Mira memang ingin melanjutkkan pendidikannya ke Aussie.


Sudah sejak beberapa jam yang lalu kata-kata itu kudengar, tapi efeknya seolah masih betah untuk berlama lama dalam pikiranku. Aku tak bisa mengira-ngira keputusan apa yang akan Mira pilih.

Datang ke syukuran ini, lalu menolakku secara halus
Datang dan menerima lamaranku..
Atau malah bisa jadi, tidak datang sama sekali sebagai jawaban penolakannya untukku..

“Ehmm, mana yang akan Mira pilih, hanya Dia yang Tuhan yang tahu..” gumamku dalam hati
Dengan kesadaran penuh, aku yakin Mira pasti akan menolak Lamaranku ini dan memilih untuk mengabaikan mimpinya ke Aussie. Aku tidak tahu pasti, seberapa kuat mimpinya itu.  dia pasti sangat terkejut ketika di usianya yang baru masuk 18 tahun,  aku—yang ia ketahui adalah tetangganya selama ini, malah melamarnya. Aku tak tahu apa yang sekarang Ia pikirkan tentang diriku?  Bisa jadi aku tidak ingin dan tidak akan pulang ke Palembang lagi kalau lamaranku ini ternyata ditolak. Bukannya aku tidak gentle, tapi aku tidak kuat jika nanti harus sering bertemu dengan dia—yang notabennya telah menolakku, sebagai tetangga depan rumah.

Keluargaku dan keluarganya sudah menjadi tetangga dan  kerabat dekat sejak oom Erwin pertama kali membeli rumah di kompleks ini. saat itu oom Erwin—yang memang asli Solo merantau ke Palembang untuk bekerja dan kemudian Ia bertemu dan menikah dengan Tante Ratna yang memang orang Palembang asli, akhirnya mereka menetap di sini, itu berarti keluargaku telah mengenal baik keluarga Mira sejak belasan  tahun yang lalu. How complicated that!!

Sempat terbersit rasa sesal di hatiku karena tidak mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu keputusanku untuk melamar Mira. Sebelumnya aku tidak berpikir tentang hubungan keluarga kami yang sudah terjalin dengan baik sejak dulu. Bagaimanapun penolakan Mira nanti pasti akan berefek terhadap hubungan ini. walaupun aku yakin tidak akan membuat hubungan kedua keluarga jadi renggang, tapi setidaknya akan tetap ada kecanggungan itu.

Sebenarnya aku belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat ini, setidaknya keputusan sacral itu baru terpikir untuk kulakukan sekitar 2 tahun lagi . Tapi dengan adanya Moment Mira yang ingin melanjutkan pendidikannya Ke Aussie, sekaligus ketidakbetahan diriku tinggal sendiri di negeri bebas macam Australia itu, kunilai ini sebagai langkah positif. Bukannya rencana baik itu harus disegerakan ya? aku takut kalau rencana ini ku tunda, keburu Mira diambil orang.

Aku tak tahu kalau sifat posesiveku yang takut ‘mira diambil orang lain’ itu sudah bisa disebut cinta. Saat ini aku merasakan keputusan ini adalah sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk segera memiliki pendamping di usaiaku yang sebentar lagi menginjak 27 tahun tapi masih sendiri di negeri yang menjunjung kebebasan seperti itu, dan kebutuhan untuk bisa melindungi dia dengan segenap hatiku di sana kelak.
 selama ini aku masih bisa dibilang ‘kuat’ melihat pergaulan bebas para mahasiswa asing di sana. Tak sedikit mahasiswa Indonesia yang terlibat dalam ‘cinta satu malam’ yang terlihat menyenangkan itu. aku bersyukur sampai saat ini aku kuat, karena memang aku selalu rutin mengikuti kajian bersama para muslim di sana, setidaknya itu bisa jadi benteng pertahanan diriku ini. tak jarang para murobbi (baca: pembimbing spiritual) ataupun sesama teman disana menyarankan aku untuk segera mencari pendamping hidup karena menurut mereka aku sudah lebih dari pantas untuk menikah. Dan entah mengapa, baru beberapa jam lalu, keputusan spontan untuk melamar Mira itu melintas begitu saja dipikiranku. Padahal baru beberapa tahun yang lalu, mira masih terlihat seperti ‘anak kecil’ dan belum terlihat bak seorang gadis seperti saat aku melihatnya di balkon kamar ku hari ini.

Kalau ditanya apa saat di balkon kamar itu aku terpesona padanya? Jawabanya sudah tentu
Pria mana yang tidak terpesona melihat Mira tadi. Walaupun hanya memakai kaos oblong putih dengan rambut kuncir kuda yang asal-asalan, dia tetap terlihat menawan. Berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Aarrrgghhh, intinya sekarang ia bertambah cantik berkali-kali lipat sejak terkahir aku melihatnya.

Aku menelan ludah dengan susah payah jika membayangkan beberapa jam dari sekarang ia akan menolakku. Aku tidak siap mendengarnya, sama halnya aku tidak siap jika harus Pulang ke Aussie sendirian setelah semua ini.

Aku tidak yakin Mira akan menerimaku, mengingat semua sikapnya selama ini padaku. Bisa dibilang aku tidak terlalu dekat dengannya. Padahal dari dulu aku sudah berusaha mendekatkan diriku padanya. Tapi sepertinya ia memasang batas tak kasat mata denganku. Entah hanya perasaan ku saja atau memang yang sebenarnya, kulihat Mira malah lebih akrab dengan kak Zaki dan Ayukku Zarah, padahal harusnya kalau dari jarak usia, jarak aku dan dialah yang paling dekat. bayangkan kalau dia jalan dengan kak Zaki—suaminya ayuk Raya, mereka akan terlihat seperti oom dan keponakan karena memang kak Zaki saat itu sudah kuliah. Sedangkan denganku? Menurutku akan terlihat seperti kakak adik.. 

Pernah suatu ketika, saat itu aku kelas 3 SMP, oom Erwin memintaku mengantar Mira kursus karena dua hari kedepan Ia akan dinas ke luar kota sedangkan tante Ratna tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil. Tapi saat aku sudah hendak mengantarnya, Ia menolakku, ia lebih memilih diantar kakak Zaki. Poor Zain

Ketika Oom Erwin pulang dan menanyakan alasan mengapa Mira lebih memilih kak Zaki, dia menjawab dengan logat anak SD yang masih kental

“kalau Mira diantar Kak Zain, Mira takut dikira pacaran pa..” ucap Mira lugas

“memangnya kalau dengan kak Zaki nggak?” tanya oom Erwin gemas

“nggak pak, kalo jalan ama Kak Zaki gak mungkin dikira pacaran soalnya kak Zaki itu kan keliatan lebih gede’ dari Mira,” ucap Mira tersipu malu

“Nah, kalo dengan kak Zain?” tanya oom Erwin penasaran. Aku berkali kali liat lebih penasaran lagi dibuatnya

“Kak Zain dengan Mira itu kan jarak usianya gak terlalu jauh Pa, terus Papa jangan bilang dengan siapa siapa ya ..” ucap Mira sambil menyuruh oom Erwin untk menunduk karena ia ingin membisikkan sesuatu

Tapi yang namanya anak kecil, tetap saja bisik bisiknya bisa terdengar bahkan dari tempatku berdiri saat itu. “kak Zain itu ganteng banget Pa, jadi Mira malu jalan dengan kak Zain, soalnya takut dikira pacaran..” ucap mira  dengan tampang polosnya, sepelan mungkin..

Kulihat dari balkon kamarku, Oom Erwin tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan putri kecilnya itu. 

Aku tak sengaja mendengar perbincangan itu dari balkon kamarku di lantai dua sedangkan saat itu Mira dan Oom Erwin sedang bermain main di halaman depan ruamahya..

“Mira  pernah menganggapku ganteng? Sekarang masih nggak ya?” tanyaku  dalam hati.
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian belasan tahun yang lalu itu. entah sejak kapan ternyata kak Zaki sudah berada di depanku—yang masih berada di ruang keluarga

“wooii berhenti senyum senyum mulu..” seru kak zaki dengan senyum jailnya

“ciee, pasti lagi mikirin soal Qamira ya..” tuduh kak Zaki cepat. Sepertinya kabar mengenai lamaranku itu sudah menyebar keseluruh sudut rumah. Itu berarti seluruh kerabat yang berada di sini, pasti sudah mendengarnya.

“Ada yang lebih gawat dari ini..?” pekikku dalam hati

“apaan sih kak..” jawabkku malas

“kok kamu malah senyum senyum sih Zain, kakak dulu pas ngelamar Raya, deg-degaan nya uda kayak terdakwa yang divonis hukuman mati…” ujar kak Zaki curhat
Seketika rahangku mengeras. Aku yang tadi sempat melupakan perihal lamaranku itu, malah teringat kembali..

Akhirnya aku lebih memilih untuk jujur

“gak jauh beda ama kakak. Deg-deg-an banget. Rasanya jantung ini mau copot. Zain takut Mira nolak lamaran Zain kak..” ujarku serius

Kak zaki malah tertawa mendengar jawabanku itu..

“Biasa kok kalau lelaki itu ditolak, dek. Kan emang uda kodratnya kalau laki laki itu yang punya kuasa memilih sang calon pendamping sementara wanita hanya bisa menunggu, tapi  justru wanita punya kuasa untuk menerima atau menolak pinangan itu, intinya kalau emang jodoh gak akan kemana-mana deh..” ucap kak Zaki menasehati

“ya iyahlah gak kemana-mana.  Orang Mira nya juga masih akan tetep disini. Tuh di rumahnya..” seru yuk Zarah yang entah sejak kapan ikut bergabung dengan pembicaraan kami..

“yeay, rese’ nih yuk Zarah. Gak tau apa adeknya lagi galau, ehh malau enak enaknya di becandain. Gak Lucu tau..” ucapku pura pura kesal

Kulihat bunda masuk ke ruang keluarga lalu mengintrupsi obrolan kami.
“Zain, kok masih disni, sepuluh menit lagi masuk waktu magrib, kok kamu belum siap siap sih!!. Gimana kalau seandainya lamarannya jadi malem iini? Masa’ mira ngeliat kamu kayak gak siap gitu..”  tanya bunda yang langsung menohok kesadarannku..

“Ya Tuhan, beberapa menit dari sekarang aku akan mendengar jawabannya..” ucapkku dalam hati
Tersadar dari keadaanku, kulangkahkan kaki segera menuju kamarku. Aku harus segera bersiap siap dan menunjukkan penampilan terbaikku padanya. “Kalaupun nantinya ia menolak lamaranku. Berarti memang kami bukan jodoh kan?” pikirku dalam hati,  berusaha untuk meredam gejolak keresahanku saat ini.
________________________

NEXT : LOVE IN AUSSIE~Pilihanku


EmoticonEmoticon