POV Zain
aku tak bisa
luluhkan hatimu
dan aku tak bisa menyentuh cintamu
seiring jejak kakiku bergetar
aku tlah terpaut oleh cintamu
menelusup hariku dengan harapan
namun kau masih terdiam membisu
dan aku tak bisa menyentuh cintamu
seiring jejak kakiku bergetar
aku tlah terpaut oleh cintamu
menelusup hariku dengan harapan
namun kau masih terdiam membisu
sepenuhnya aku
ingin memelukmu
mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
setulusnya aku akan terus menunggu
menanti sebuah jawaban tuk memilikimu
mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
setulusnya aku akan terus menunggu
menanti sebuah jawaban tuk memilikimu
(Padi, menanti sebuah jawaban)
“tapii keputusan tetap ada di tangan
Mira..”
Kata
kata dari Oom Erwin beberapa saat yang lalu itu, terus berputar ulang di otakku
bak kaset kusut yang tak akan bisa berhenti.
Saat
ini pasti Oom Erwin dan Tante Ratna telah menyampaikan perihal lamaranku pada
Mira, dan itu berarti Mira juga tengah dibuat ‘Galau’ antara mimpinya ke Aussie
dan keharusan menikah denganku. Itu sudah seperti ‘satu paket’ restu dari orang
tua mira jika Mira memang ingin melanjutkkan pendidikannya ke Aussie.
Sudah
sejak beberapa jam yang lalu kata-kata itu kudengar, tapi efeknya seolah masih
betah untuk berlama lama dalam pikiranku. Aku tak bisa mengira-ngira keputusan
apa yang akan Mira pilih.
Datang ke
syukuran ini, lalu menolakku secara halus
Datang dan menerima lamaranku..
Atau malah bisa jadi, tidak datang
sama sekali sebagai jawaban penolakannya untukku..
“Ehmm, mana yang akan Mira pilih,
hanya Dia yang Tuhan yang tahu..” gumamku
dalam hati
Dengan
kesadaran penuh, aku yakin Mira pasti akan menolak Lamaranku ini dan memilih
untuk mengabaikan mimpinya ke Aussie. Aku tidak tahu pasti, seberapa kuat mimpinya
itu. dia pasti sangat terkejut ketika di
usianya yang baru masuk 18 tahun,
aku—yang ia ketahui adalah tetangganya selama ini, malah melamarnya. Aku tak tahu apa yang sekarang Ia pikirkan
tentang diriku? Bisa jadi aku tidak
ingin dan tidak akan pulang ke Palembang lagi kalau lamaranku ini ternyata
ditolak. Bukannya aku tidak gentle,
tapi aku tidak kuat jika nanti harus sering bertemu dengan dia—yang notabennya
telah menolakku, sebagai tetangga depan rumah.
Keluargaku
dan keluarganya sudah menjadi tetangga dan
kerabat dekat sejak oom Erwin pertama kali membeli rumah di kompleks
ini. saat itu oom Erwin—yang memang asli Solo merantau ke Palembang untuk
bekerja dan kemudian Ia bertemu dan menikah dengan Tante Ratna yang memang
orang Palembang asli, akhirnya mereka menetap di sini, itu berarti keluargaku
telah mengenal baik keluarga Mira sejak belasan tahun yang lalu. How complicated that!!
Sempat
terbersit rasa sesal di hatiku karena tidak mempertimbangkan dengan matang
terlebih dahulu keputusanku untuk melamar Mira. Sebelumnya aku tidak berpikir
tentang hubungan keluarga kami yang sudah terjalin dengan baik sejak dulu.
Bagaimanapun penolakan Mira nanti pasti akan berefek terhadap hubungan ini.
walaupun aku yakin tidak akan membuat hubungan kedua keluarga jadi renggang,
tapi setidaknya akan tetap ada kecanggungan itu.
Sebenarnya
aku belum memiliki rencana untuk menikah dalam waktu dekat ini, setidaknya
keputusan sacral itu baru terpikir untuk kulakukan sekitar 2 tahun lagi . Tapi
dengan adanya Moment Mira yang ingin melanjutkan pendidikannya Ke Aussie,
sekaligus ketidakbetahan diriku tinggal sendiri di negeri bebas macam Australia
itu, kunilai ini sebagai langkah positif. Bukannya
rencana baik itu harus disegerakan ya? aku takut kalau rencana ini ku tunda,
keburu Mira diambil orang.
Aku
tak tahu kalau sifat posesiveku yang takut ‘mira diambil orang lain’ itu sudah bisa
disebut cinta. Saat ini aku merasakan keputusan ini adalah sebuah kebutuhan.
Kebutuhan untuk segera memiliki pendamping di usaiaku yang sebentar lagi
menginjak 27 tahun tapi masih sendiri di negeri yang menjunjung kebebasan
seperti itu, dan kebutuhan untuk bisa melindungi dia dengan segenap hatiku di
sana kelak.
selama ini aku masih bisa dibilang ‘kuat’
melihat pergaulan bebas para mahasiswa asing di sana. Tak sedikit mahasiswa
Indonesia yang terlibat dalam ‘cinta satu malam’ yang terlihat menyenangkan
itu. aku bersyukur sampai saat ini aku kuat, karena memang aku selalu rutin
mengikuti kajian bersama para muslim di sana, setidaknya itu bisa jadi benteng
pertahanan diriku ini. tak jarang para murobbi
(baca: pembimbing spiritual) ataupun sesama teman disana menyarankan aku untuk
segera mencari pendamping hidup karena menurut mereka aku sudah lebih dari
pantas untuk menikah. Dan entah mengapa, baru beberapa jam lalu, keputusan
spontan untuk melamar Mira itu melintas begitu saja dipikiranku. Padahal baru
beberapa tahun yang lalu, mira masih terlihat seperti ‘anak kecil’ dan belum
terlihat bak seorang gadis seperti saat aku melihatnya di balkon kamar ku hari
ini.
Kalau
ditanya apa saat di balkon kamar itu aku terpesona padanya? Jawabanya sudah
tentu
Pria
mana yang tidak terpesona melihat Mira tadi. Walaupun hanya memakai kaos oblong
putih dengan rambut kuncir kuda yang asal-asalan, dia tetap terlihat menawan.
Berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Aarrrgghhh, intinya sekarang ia
bertambah cantik berkali-kali lipat sejak terkahir aku melihatnya.
Aku
menelan ludah dengan susah payah jika membayangkan beberapa jam dari sekarang
ia akan menolakku. Aku tidak siap mendengarnya, sama halnya aku tidak siap jika
harus Pulang ke Aussie sendirian setelah semua ini.
Aku
tidak yakin Mira akan menerimaku, mengingat semua sikapnya selama ini padaku.
Bisa dibilang aku tidak terlalu dekat dengannya. Padahal dari dulu aku sudah
berusaha mendekatkan diriku padanya. Tapi sepertinya ia memasang batas tak
kasat mata denganku. Entah hanya perasaan ku saja atau memang yang sebenarnya,
kulihat Mira malah lebih akrab dengan kak Zaki dan Ayukku Zarah, padahal
harusnya kalau dari jarak usia, jarak aku dan dialah yang paling dekat.
bayangkan kalau dia jalan dengan kak Zaki—suaminya ayuk Raya, mereka akan
terlihat seperti oom dan keponakan karena memang kak Zaki saat itu sudah kuliah.
Sedangkan denganku? Menurutku akan terlihat seperti kakak adik..
Pernah
suatu ketika, saat itu aku kelas 3 SMP, oom Erwin memintaku mengantar Mira
kursus karena dua hari kedepan Ia akan dinas ke luar kota sedangkan tante Ratna
tidak bisa mengendarai motor ataupun mobil. Tapi saat aku sudah hendak
mengantarnya, Ia menolakku, ia lebih memilih diantar kakak Zaki. Poor Zain
Ketika
Oom Erwin pulang dan menanyakan alasan mengapa Mira lebih memilih kak Zaki, dia
menjawab dengan logat anak SD yang masih kental
“kalau
Mira diantar Kak Zain, Mira takut dikira pacaran pa..” ucap Mira lugas
“memangnya
kalau dengan kak Zaki nggak?” tanya oom Erwin gemas
“nggak
pak, kalo jalan ama Kak Zaki gak mungkin dikira pacaran soalnya kak Zaki itu
kan keliatan lebih gede’ dari Mira,” ucap Mira tersipu malu
“Nah,
kalo dengan kak Zain?” tanya oom Erwin penasaran. Aku berkali kali liat lebih
penasaran lagi dibuatnya
“Kak
Zain dengan Mira itu kan jarak usianya gak terlalu jauh Pa, terus Papa jangan
bilang dengan siapa siapa ya ..” ucap Mira sambil menyuruh oom Erwin untk
menunduk karena ia ingin membisikkan sesuatu
Tapi
yang namanya anak kecil, tetap saja bisik bisiknya bisa terdengar bahkan dari
tempatku berdiri saat itu. “kak Zain itu ganteng banget Pa, jadi Mira malu
jalan dengan kak Zain, soalnya takut dikira pacaran..” ucap mira dengan tampang polosnya, sepelan mungkin..
Kulihat
dari balkon kamarku, Oom Erwin tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan putri
kecilnya itu.
Aku
tak sengaja mendengar perbincangan itu dari balkon kamarku di lantai dua
sedangkan saat itu Mira dan Oom Erwin sedang bermain main di halaman depan
ruamahya..
“Mira
pernah menganggapku ganteng? Sekarang masih nggak ya?” tanyaku
dalam hati.
Tanpa
sadar aku tersenyum sendiri membayangkan kejadian belasan tahun yang lalu itu.
entah sejak kapan ternyata kak Zaki sudah berada di depanku—yang masih berada
di ruang keluarga
“wooii
berhenti senyum senyum mulu..” seru kak zaki dengan senyum jailnya
“ciee,
pasti lagi mikirin soal Qamira ya..” tuduh kak Zaki cepat. Sepertinya kabar
mengenai lamaranku itu sudah menyebar keseluruh sudut rumah. Itu berarti
seluruh kerabat yang berada di sini, pasti sudah mendengarnya.
“Ada yang
lebih gawat dari ini..?” pekikku dalam hati
“apaan
sih kak..” jawabkku malas
“kok
kamu malah senyum senyum sih Zain, kakak dulu pas ngelamar Raya, deg-degaan nya
uda kayak terdakwa yang divonis hukuman mati…” ujar kak Zaki curhat
Seketika
rahangku mengeras. Aku yang tadi sempat melupakan perihal lamaranku itu, malah
teringat kembali..
Akhirnya aku lebih memilih untuk jujur
“gak
jauh beda ama kakak. Deg-deg-an banget. Rasanya jantung ini mau copot. Zain
takut Mira nolak lamaran Zain kak..” ujarku serius
Kak
zaki malah tertawa mendengar jawabanku itu..
“Biasa
kok kalau lelaki itu ditolak, dek. Kan emang uda kodratnya kalau laki laki itu
yang punya kuasa memilih sang calon pendamping sementara wanita hanya bisa
menunggu, tapi justru wanita punya kuasa
untuk menerima atau menolak pinangan itu, intinya kalau emang jodoh gak akan kemana-mana
deh..” ucap kak Zaki menasehati
“ya
iyahlah gak kemana-mana. Orang Mira nya
juga masih akan tetep disini. Tuh di rumahnya..” seru yuk Zarah yang entah sejak kapan ikut bergabung dengan pembicaraan
kami..
“yeay,
rese’ nih yuk Zarah. Gak tau apa adeknya lagi galau, ehh malau enak enaknya
di becandain. Gak Lucu tau..” ucapku pura pura kesal
Kulihat
bunda masuk ke ruang keluarga lalu mengintrupsi obrolan kami.
“Zain,
kok masih disni, sepuluh menit lagi masuk waktu magrib, kok kamu belum siap
siap sih!!. Gimana kalau seandainya lamarannya jadi malem iini? Masa’ mira
ngeliat kamu kayak gak siap gitu..” tanya
bunda yang langsung menohok kesadarannku..
“Ya Tuhan, beberapa menit dari
sekarang aku akan mendengar jawabannya..” ucapkku
dalam hati
Tersadar dari keadaanku, kulangkahkan kaki
segera menuju kamarku. Aku harus segera bersiap siap dan menunjukkan penampilan
terbaikku padanya. “Kalaupun nantinya ia
menolak lamaranku. Berarti memang kami bukan jodoh kan?” pikirku dalam
hati, berusaha untuk meredam gejolak
keresahanku saat ini.
________________________
NEXT : LOVE IN AUSSIE~Pilihanku
________________________
NEXT : LOVE IN AUSSIE~Pilihanku
EmoticonEmoticon