#3 LOVE IN AUSSIE~Ujian Keseriusan dari Calon mertua




POV ZAIN

“kakak, Bunda dan Ayah kakak manggil..” seru Doni, Adik sepupuku  tepat dari depan pintu kamar. Aku hanya mengangguk mengiyakan seruannya.

Aku yakin Mira yang saat ini tengah di hadapanku tak mendengar seruan Doni barusan. Dari jalan kompleks selebar 5 meter yang memisahkan rumahku dan rumahnya saat ini, ku lihat Mira sepertinya tengah membayangkan sesuatu. Dia memang ada di depanku, tapi tidak dengan pikirannya.

Memecah kesunyian diantara kami, aku berinisiatif menananyakan langsung apa yang sedang ia pikirkan.

“Qamira Nafisah kok melamun? “ tanyaku sengaja menyebutkan nama lengkapnya untuk  memecah keheningan

 

Kulihat ia gelagapan dan malah menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. 

“Ooh eehm..”

“Itu berarti dia enggan menjawab kan?” Tanyaku lebih pada diri sendiri..

“ya udah deh, gak perlu dijawab, nanti malam datang ya ke rumah kakak, Bunda ngadain syukuran..” tawarku mencoba untuk terlihat tidak gugup sedikitpun.

“kakak masuk dulu ya..” pamitku padanya

Segera aku beranjak dari jendela kamarku. Sebenarnya aku ingin mengobrol banyak hal padanya. Salah satunya, tentang mengapa Ia memilih Aussie sebagai Negara tujuan kuliahnya. Bukankah kebanyakan gadis gadis muda akan lebih memilih London, USA atau yang lainya karena terlihat lebih menarik dan Favorit?. Tapi kuurungkan niatku  itu karena sepertinya Ayah dan Bunda tengah menungguku saat ini.

Aku berjalan keluar kamar masih menebak nebak sebenarnya mengapa Ayah dan Bunda memanggilku. “apa  Ayah  dan Bunda ingin membicarakan perihal rencana serius yang kuungkapkan beberapa saat yang lalu ya?” tanyaku dalam hati

Di anak tangga terakhir aku terpaku melihat pemandangan yang hanya berjarak 3 meter dari tempatku berdiri saat ini. “serius sekali suasananya..” batinku dalam hati

Di ruang keluarga itu kulihat Ayah dan Bunda tengah serius bicara kepada dua orang. tapi pandangan mataku belum begitu jelas menangkap dengan siapa Ayah dan Bunda berbicara karena banyaknya keluarga dan para keponakanku yang berlalu lalang tepat di hadapanku yang tentu saja menganggu pandanganku.

“Itu  Oom Erwin dan Tante Ratna kan?” Tanyaku lebih pada diri sendiri

Dari gesture tubuh dan perawakan yang berhasil ku tangkap,  Aku yakin dan seratus persen yakin bahwa itu mereka. tiba-tiba bagai adegan slow motion di film film, ku rasakan keponakan dan keluargaku yang tadinya berlalu lalang dihadapanku malah menghilang entah kemana, yang ada hanya mataku yang entah sejak kapan  sudah bertatapan langsung dengan mata Oom Erwin dan Tante Ratna. Dengan lambaian tangan dari Tante Ratna aku tahu bahwa ia memintaku bergabung  bersama mereka.

Rasanya jarak 3 meter yang memisahkan kami dari tempatku berdiri saat ini, terasa di tumbuhi duri duri tajam di sepanjang jalan. Lama sekali untuk sampai disana. tiba tiba aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat, nafasku terasa berat  untuk dihembuskan. Tubuhku sepertinya tengah berespon terhadap ansietas (baca: cemas) yang aku rasakan saat ini. Seketika nyaliku ciut dimakan oleh pikiran yang  tiba tiba berkecamuk dalam otakku.

“Pasti mereka tengah membicarakan perihal rencanaku ‘itu’ kan? atau jangan jangan mereka memanggiku karena ingin menyampaikan penolakan secara halus padaku?. Apa meraka sekarang menganggapku pedofil?. Karena telah berniat menikahi putri mereka yang baru satu minggu yang lalu dinyatakan lulus sekolah menengah atas?. TIDAK Zain!! , memangnya menikahi gadis yang sudah 18 tahun itu masih saja dianggap pedofil? C’mon Zain, itu sah sah saja..!!!  Mira bukan lagi anak kecil seperti yang kamu kenal dulu . dia sudah lebih dari pantas untuk menikah..” batinku dalam hati  untuk meyakinkan keputusanku.

“Zain kok diem aja? Salamin dulu dong Tante Ratna dan Oom Erwinnya, dari tadi nyampe belum sempet nyapa kan”  perintah Bunda membuyarkan segala pikiran absurdku barusan.

Aku gelagapan. Ku salami tangan mereka dengan gugup.

Aku tak bisa menerka-nerka tatapan yang Oom Erwin tujukan kepadaku saat ini.

“iiih, tangan Zain dingin banget Nis..” seru Tante Ratna.

“biasa, lagi  gugup Na..” ucap Bunda santai

Rasa gugup yang aku rasakan saat ini membuatku hanya bisa memaksakan seulas senyum menanggapi olokan Bunda barusan.

“Baiklah, karena Zainnya uda ada disini, sekarang Oom mau  denger dari orangnya langsung..” ucap Oom Erwin serius dan langsung to the poin

Aku langsung tahu maksud ‘denger dari orangnya langsung’ itu mengarah pada pernyataanku beberapa saat yang lalu—yakni keseriusanku melamar Qamira.

Aku menarik nafas panjang sebelum memulai segala bentuk promosi diriku agar diterima jadi calon menantu di keluarga mereka.

“ehmmm.. sebelumnya Zain ingin menegaskan bahwa saat ini Zain berbicara sebagai seorang pria dewasa. Bukan lagi sebagai anak tentangga kemarin sore…” ucapku ingin menghilangkan image masa kanak kanakku dulu

Berhenti sejenak untuk menarik nafas. Aku tahu keempat pasang mata di ruangan ini pasti tengah menunggu suraku selanjutnya

“aku serius ingin melamar  Qamira Nafisah, putri Oom dan Tante. Menjadikanku imam untuknya, menjaganya baik lahir maupun batin..” ucapanku tiba tiba diintrupsi oleh suara yang aku kenali adalah suara Ayah.

“Ayah tahu Zain, tapi ini bukan semata-mata karena kamu merasa berkewajiban menjaga Qamira di negara asing itu kan?” tanya Ayah ragu

Aku menarik nafas sejenak mencerna pertanyaan yang Ayah ajukan. Aku benar benar tak berpikiran bahwa aku menikahi Qamira hanya untuk sekedar menjaganya. Aku ingin menjadikannya istriku seutuhnya..

Ku gelengkan kepala dengan mantap
“tidak ada hal yang seperti itu Ayah. Zain hanya ingin melengkapi separuh agama Zain dengan menikahi Qamira. Perlu Ayah, Bunda, Tante dan Oom tahu, Zain sudah tertarik pada Qamira sedari Zain SMA. Saat ini Zain merasa bahwa ini adalah moment yang tepat untuk melamar Qamira sekaligus menjaganya kelak di sana..”

Ku beranikan diri mengangkat kepalaku untuk melihat keadaan sekitar. Kulihat mata ibu dan Tante Ratna berkaca kaca mendengar lamaranku barusan.

“itu sudah lebih dari cukup untuk meyakinkan Oom dan Tante bahwa kamu serius dengan Mira..” ucap Oom Erwin

“Tak ada yang  meragukan bahwa yang bisa menjaga seorang wanita  baik lahir maupun batin itu selain suaminya sendiri. Yang sudah pasti muhrim dan halal untuknya..”

“tapii keputusan tetap ada di tangan Mira..” ucap Oom Erwin menyadarkanku pada kenyataan
“Ahh ya!! keputusan ada di tangan Mira”. Batinku ragu

“bisa saja Oom menikahkan Mira dengan Kamu tanpa sepengetahuan Mira, Hukumnya tetap SAH di mata Agama karena Oom adalah Wali kandungnya Mira..”

“tapi pernikahan tidak bisa dijalankan atas sebuah paksaan..” ucap Oom Erwin lagi

“jadi tunggulah sampai Oom menyampaikan kabar bahagia ini kepada Mira, kalau Ia menyetujuinya. Malam ini juga akan ada prosesi lamaran mendadak..” ucap Oom Erwin mengakhiri

“Malam ini? berbarengan dengan malam syukuran kepulanganku?” tanyaku dalam hati. Masih tak percaya.

Selepas kepergian Oom Erwin dan Tante Ratna. Bunda memelukku erat, Ayah meremas sedikit bahuku sebagai tanda penguatan atas penantian jawaban lamaran ku nanti malam. Kemungkinananya masih 50:50. Dan sayangnya mengapa aku tak yakin Mira bakal menerimaku?

_____

penasaran? Wait Next Chap :*


EmoticonEmoticon